Senin, 04 Juni 2012

Cerpen "Symphoni Musim Gugur"

SYMPHONY FOR MY AUTUMN
“Symphoni Musim Gugur”
Cerpen Tantri Pradhita Yudhi Astri
 
Hujan lembut masih mengguyur sebagian bukit yang menghijau. Langit juga tak menampakkan keramahannya pada dunia di hari itu. Guguran daun yang tergenang di air seakan menandakan masih akan ada hujan yang turun beberapa saat lagi. Seorang gadis berwajah pucat memandang jauh ke jendela rumah sakit dimana matanya menemukan seorang laki- laki yang tak biasanya berwaja seperti itu. Lama ia mengawasi wajah laki- laki itu, sebelum ia menyadari jika hujan telah berhenti dan ia segera memasuki rumah sakit yang dipenuhi dengan beberapa orang yang berlalu lalang.
Lorong rumah sakit yang sepi menyambutnya dengan hangat. Ia terus berjalan menyusuri lorong itu dan berharap ia masih menemukan laki- laki yang sedang melamun dijendela itu. Saat ia sampai dilorong yang ia tuju, gadis itu tertegun melihat seseorang yang sedang duduk di kursi rodanya sambil mengamati awan yang ada di luar jendela. meski ragu ia berusaha mendekati laki- laki itu dengan wajah ramahnya.
“Orion,” sapanya dengan suara yang sedikit lirih, “kau kena, , ,,”
“bukan urusanmu!,” potongnya namun tak ada nada arogannya sama seperti sebelumnya.

 Meski Orion menjawabnya dengan kurang ramah ia tak ingin meninggalkan laki- laki itu sendirian di lorong rumah sakit itu. Tak lama kemudian pintu ruang dokter yang berada di belakangnya terbuka dan ia mendapati dua orang yang sepertinya orangtua Orion sedang berbicara dengan dokter muda. Setelah berbincang lirih sejenak orangtua Orion bersama dengan seorang suster membawanya memasuki sebuah kamar inap yang terletak beberapa pintu dari ruang dokter itu.
“kenapa?,” tanya dokter itu heran pada gadis yang tertegun melihat Orion memasuki ruang inap yang berada beberapa pintu dari ruangan dokter. Orion adalah pemain basket andalan disekolahnya dan ia sangat tampan dan tenar, semua orang memujanya, tapi saat ini ia sedang terbaring dirumah sakit, mungkin hal ini adalah awal mula perubahan dalam hidupnya.
“apanya?,” gadis itu balik bertanya. Sementara itu sang dokter hanya menjawab dengan senyum kecutnya dan berbalik meninggalkan gadis itu, “kakak!,” kata gadis itu melarang kakaknya melangkah lebih jauh.
“hmm?,” dokter itu berbalik sedikit dan memandang gadis itu semu dibalik kaca matanya yang tipis, “kau sudah lihatkan? Menjadi dokter itu perlu perjuangan Rachel,” tambahnya seraya meninggalkan Rachel yang terdiam di lorong itu.
“kenapa kakak yang menangani Orion? Dimana dokter kepala?,” tanya Rachel sambil mendelik pada kakaknya yang sudah tak memandangnya lagi.
Laki- laki itu hanya tersenyum dan mendorong kaca matanya, “memangnya tak boleh?,” ia balik bertanya seolah menyembunyikan sesuatu. Memang terlihat aneh, kakak Rachel adalah dokter muda spesialis syaraf, tapi kenapa harus dia yang menangani Orion? Tanya Rachel dalam hati.

Sejenak Rachel berfikir apa yang telah dikatakan oleh kakanya itu sambil sesekali ia melirik pada pintu ruang inap Orion. Baru beberapa langkah ia menuju ruangan kakaknya, dari kejauhan ia melihat segerombolan anak yang berseragam sama dengannya berjalan menuju kearahnya, namun ia tahu jika mereka tak mungkin mencarinya, gadis kutubuku dengan kaca mata dan rambut yang selalu terikat, mereka berjalan menuju ruang Orion dirawat. Mungkin Saja mereka cemas, pikir Rachel singkat, namun ia mengurungkan niatnya untuk meninggalkan lorong itu. Sesaat setelah gerombolan itu masuk, ia melihat orangtua Orion keluar meninggalkan lorong tersebut. Akhirnya dengan hati- hati Rachel berjalan mendekati pintu itu untuk melihat apa yang terjadi.
“aku pikir kalian tidak akan datang?,” sapa Orion dengan senyum ramahnya.
“apa yang terjadi padamu?,” tanya seorang laki- laki yang dikenal Rachel sebagai Bobby dengan nada yang ketus pada Orion. Matanya tajam memandang laki- laki yang sedang duduk di kursi roda itu, “aku harap kau bisa bertanding di final esok! Aku tak ingin kita kalah, Orion!,” tambahnya membuat Orion menundukkan wajahnya.

Laki- laki itu semakin diam sebelum ia kembali mendengar suara hujan yang kembali mengguyur diluar, “aku tak bisa pergi esok, aku harus ada disini untuk beberapa hari!,”
“kenapa? Kenapa? Kau mengidap sesuatu dan umurmu tak panjang?,” tanya Bobby dengan lantang, “mati saja kau!,” katanya seraya pergi meninggalkan Orion diikuti teman- temannya dan membiarkan laki- laki itu sendirian.

Namun, setelah ia menundukkan wajahnya cukup lama ia masih bisa tersenyum karena sang kekasih masih ada di tempat itu, “jangan tinggalkan aku!,” katanya pada wanita itu.
“aku tak bisa Orion, jangan temui aku lagi!,” katanya seraya berbalik meninggalkan tempat itu. Baru beberapa langkah gadis itu pergi, Orion nekat turun dari kursi rodanya untuk mengejar sang kekasih. Meski ia lakukan itu, sang gadis tidak menengok dan terus pergi menjauh darinya.

Rachel terdiam dibalik jendela kaca melihat Orion yang menitihkan airmatanya dan terduduk lemah dilantai yang dingin. Jika saja ia mempunyai dendam pada laki- laki yang terus mempermalukannya itu ia akan tertawa melihat hal itu, namun sayang Rachel tak pernah menganggap itu dendamnya. Ia berlari menerobos pintu ruang inap Orion dan meraih bahu laki- laki itu dan kembali membimbingnya untuk duduk di kursi rodanya. Sesaat ia bisa tahu jika Orion tertegun melihatnya yang seolah seperti malaikat yang kirimkan oleh Tuhan.
“kau bisa tertawa sekarang! Kau senangkan?,” tanyanya dengan airmatanya yang terus berjatuhan.

Sementara itu Rachel masih diam melihatnya, ia tak pernah melihat Orion menangis seperti itu, Orion yang ia kenal adalah laki- laki yang kuat dan juga arogan, bahkan ia tak segan- segan membuat seseorang terluka dengan kata- kata ataupun perbuatannya. Rachel berlutut didepan Orion dan menghapus airmata yang membasahi wajah laki- laki itu, “kau pikir kau pantas menangis? Aku tak seperti mereka, Orion. Meskipun berulang kali kau juga sering melakukan hal lebih kejam dari itu kepadaku, apa aku pernah membalasmu?,” tanya membuat Orion terdiam, “aku hanya ingin menolongmu, aku selalu membantu kakakku dirumah sakit, itu kenapa aku tak punya waktu untuk bersenang- senang seperti kalian,” tambahnya semakin membuat Orion diam.
“kakakmu dokter spesialis, Dr. Adam?,” tanyanya sambil menatap Rachel dalam, tatapan yang belum pernah dilihat Rachel sebelumnya. Gadis itu hanya mengangguk pelan sambil melihat perubahan wajah Orion menjadi cemas sambil memegangi kepalanya yang diperban. Kepalanya terbentur bola basket dengan keras saat bertanding hingga ia pingsan dan kepalanya berdarah, “apa yang terjadi padaku?,”
“jangan terlalu dibawa kedalam pikiranmu,” sela Rachel yang melihat Orion yang memikirkan hal yang berat, “sebaiknya kau tidur,” katanya sambil membawa kursi roda itu mendekat pada tempat tidur, “kau istirahat dulu, kau akan merasa baik esok hari,” katanya dengan senyum ramahnya. Senyum itu membuat Orion terenyuh, karena orang yang selalu ia sakiti masih mau menolongnya walaupun saat sudah tiada seorangpun yang peduli padanya.

Pagi yang masih berkabut, membuat puncak pohon pinus yang ada diseberang rumah sakit belum terlihat. Mentaripun belum mau menunjukan sinarnya, mungkin hujan akan turun lagi. Rachel berjalan menuju ruangan kakaknya, tapi sebelumnya ia sempat melirik kedalam ruangan dimana Orion dirawat. Saat ia melihat kedalam, ia melihat kakaknya sedang melihat kondisi luka Orion hingga membuatnya meringis kesakitan. Rachel dengan seribu perasaan cemasnya hanya menunggu diluar ruangan dengan was- was, sebelum ia yakin untuk ikut bergabung kedalam.
“kakak!,” sapanya dan dibalas dengan senyuman kecil kakaknya, “bagaimana kondisi Orion?,”
Saat laki- laki itu mendengar pertanyaan Rachel ia hanya diam dan berjalan menjauh dari ruangan itu, “temani ia berjalan- jalan di bukit,” katanya tak ada hubungannya.

Meski tak mengerti apa yang dimaksudkan kakaknya, ia membawa Orion untuk berjalan- jalan disekitar bukit yang masih dipenuhi kabut yang dingin. Sesekali Rachel melihat Orion yang semakin pucat dengan bibirnya yang seperti kertas. Laki- laki itu melamun jauh entah kemana seolah ia ingin pergi menjauh dan tak ingin bertemu dengan siapa- siapa lagi. Lama Rachel hanya mengawasi Orion tanpa saling, menyapa satu sama lain sebelum sebuah daun gugur tepat di pangkuan Orion.
“musim gugur yang indah!,” kata Rachel berusaha memecahkan keheningan, “tenanglah Orion, beberapa hari lagi kau akan berada di lapangan basket dan senyumanmu akan kembali!,” tambahnya membuat Orion tertunduk, sahabatmu juga akan kembali,”
“aku takkan ada dilapangan basket lagi!,” timpang Orion membuat Rachel tercengang, “pasti pelatihku juga sudah tahu sesuatu tentangku hingga aku dikeluarkan dari tim!,” tambahnya dengan iba, “mungkin ini cara Tuhan untuk membalas sikapku selama ini,” katanya lagi dengan darah yang keluar dari hidungnya, “mungkin ini yang ingin Ia tunjukkan padaku!,” katanya sambil menghapus darah yang keluar dari hidungnya namun tak menghapus airmatanya.

Rachel kembali menghapus airmata dan darah yang keluar dari hidung Orion ia memandang laki- laki itu seolah ketakutanya benar- benar akan menjadi kenyataan, “hidungmu berdarah semua, Orion kau sakit? kita kembali sekarang ya?,” tanyanya tapi Orion menahannya dengan lembut.
“aku tak ingin kembali, aku punya suatu permohonan unutkmu,” katanya dengan suaranya yang bergetar. Rachel masih diam, ia tak pernah melihat Orion seserius itu padanya, “bimbinglah aku, menjadi orang yang selalu dianggap berharga dalam hidupnya. Ajari aku untuk menghargai orang- orang disekitarku dan bersikap lapang dada. Aku mohon, Rachel. Waktuku tak banyak, cepat atau lambat Tuhan akan memanggilku!,” katanya tak mampu memperlihatkan airmatanya pada Rachel.
“aku tak mengerti, apa yang terjadi padamu Orion?,”
Rachel duduk di taman sekolahnya dengan matanya yang sembab. Ia terlihat habis menangis dengan hati yang sangat terluka. Dulu ia menangis karena Orion selalu mempermalukannya didepan umum, tapi justru sekarang ia menangis untuk Orion yang sudah tidak lagi dianggap ada didekat teman- temannya. Sekarang hanya ia yang mau menerima Orion dengan tulus meski laki- laki itu sedang sakit parah dan tidak ada apapun lagi yang bisa menyembuhkannya. Ia masih teringat jika kakaknya mengatakan Orion mengidap kanker otak stadium akhir dan tidak bisa disembuhkan lagi meski dengan operasi. Rachel tak tahu kenapa ia mau menerima Orion yang telah menyakitinya dan tidak merasa dendam padanya.


Minggu- minggu berlalu, Rachel tak sekalipun meninggalkan Orion sendirian. Ia selalu menjaga laki- laki itu seolah ia telah melupakan perlakuan kasar Orion padanya. Mungkin jika ia selalu bersama Orion rasa cinta yang dulu sangat takut ia tumbuhkan akan tumbuh dengan sendirinya.

Suara- suara dentingan nada- nada piano yang indah menggema diruang musik dimana hanya ada Rachel dan Orion didalamnya. Matahari sore yang redup menembus jendela kaca yang tirainya belum tertutup. Rachel menaruh biolanya di meja sambil memandang seorang laki- laki pucat yang sedang memainkan nada- nada indah pada piano yang ada didepannya. Ia tertegun melihat laki- laki itu seolah ia melihat sisi lain Orion yang sangat lembut melebihi salju. Perlahan ia berjalan menghampiri laki- laki itu dan duduk disampingnya. Ia membiarkan laki- laki itu terus memainkan nada- nada itu dan membiarkan matanya kembali berkaca- kaca.
“nada yang indah!,” kata Rachel membuat Orion tersenyum samar, “kau terlihat lebih hidup dengan piano, bukan dengan basket!,”

Orion terdiam dan menghela nafas panjang. Ia membalas tatapan lembut gadis itu seolah ia mulai menyukainya, “aku menyukai paino,” katanya singkat.
“kau payah! Kau menyukai piano tapi memacari basket,” kata Rachel membuat Orion sedikit tertawa lepas.
“ku lakukan itu untuk kakakku!,” jawab Orion lemah dan tatapannya kembali kalut, “tak ada yang tahu jika aku punya kakak. Dia adalah orang yang sangat baik, dia seperti malaikat. Dia selalu melindungiku dan menerimaku saat sudah tidak ada seseorang yang menginginkanku,” katanya membuat Rachel merasa bersalah telah mengungkit masa lalunya, “dulu aku sama sepertimu, selalu tak dianggap dan tersisihkan, tapi jika aku berada disisi kakakku, aku merasa nyaman dan dia takkan membiarkanku jatuh,” tambahnya terlihat dari sudut mata ia menahan kesedihannya.

Rachel terdiam melihat Orion yang sedang berusaha tegar, “kemana dia?,”
“dia mati!,” jawab Orion berat dan airmatanya mulai jatuh, “dia meninggal saat bus yang ia gunakan untuk berangkat bertanding keluar kota kecelakaan. Itu kenapa aku selalu ingin bermain basket. Karena dengan basket aku merasa jika kakakku selalu didekatku dan bermain denganku. Aku sangat merindukannya, aku selalu minta pada Tuhan agar aku tidak sendiri dan mengirimkan seseorang yang baik seperti kakakku,” tambahnya semakin membiarkan airmatanya jatuh membasahi pianonya, “aku terlalu takut untuk sendiri!,”
“kau tak sendiri! Aku sudah bilangkan, aku akan menemanimu!,” kata Rachel sedikit membuat Orion menghentikan airmatanya, “apa kakakmu pernah meminta sesuatu padamu?,”
Orion mengangguk pelan dan kembali menatap Rachel, “ia pernah bilang padaku, aku harus selalu menjadi diriku sendiri. Tapi semua itu sia- sia, aku sudah tidak bisa lagi menjadi pemain baket terkenal, aku lumpuh,”

Gadis yang berada disampingnya itu hanya menyerngit dan menggelengkan kepalanya, “menjadi pemain basket itu bukan keinginanmu, tapi kakakmu. Kau harus menjadi dirimu sendiri Orion, kau masih bisa memenuhi permintaan kakakmu, kau harus menjadi sesuatu yang sesuai dengan hatimu dan kau menyukainya!,”
“aku harus menyelesaikan nada- nada ini?,” tanyanya sangsi diikuti Rachel yang tersenyum samar.
Malam sudah menjelma Orion masih duduk didepan paino yang ada dikamarnya. Ia terus menulis not balok pada kertas yang tak jauh darinya, sambil sesekali menghapus beberapa nada yang sekiranya berlebihan. Ia tak pernah merasa bekerja sepenuh hati seperti saat ini sebelumnya, apa mungkin cinta yang ia rasakan saat ini juga belum pernah ia rasakan sebelumnya? Ia tersenyum kecil jika ia mengingat bagaimana Rachel memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang yang belum ia rasakan. Sampai pada akhirnya ia benar- benar tersenyum pada seorang gadis yang sedang tertidur pulas sambil menaruh kepalanya dimeja. Ditangan gadis itu membawa rajutan syal yang belum jadi. Orion tersenyum melihat gadis itu, ia rela menunggunya untuk menyelesaikan nada- nada pada lagu yang berusaha ia ciptakan sendiri. Perlahan ia belai rambut gadis yang sudah tak terikat seperti biasanya lagi itu dengan penuh kasih sayang. Mungkinkah ini cinta? Orion selalu menanyakannya dalam hati, kenapa baru sekarang ia merasakannya? Selama ini Tuhan sudah mengirimkan bidadari yang bisa menjaganya tapi ia selalu membuat bidadari itu menangis dan terluka, mungkin ia masih bisa menemui bidadari itu disisa waktunya yang tak banyak.

Lama ia memandangi gadis itu sebelum ia tersedak dan dadanya terasa sakit yang teramat parah. Orion menutupi mulutnya dengan syal yang melingkar dilehernya agar ia tak membangunkan Rachel yang sedang tertidur, namun saat ia membuka syalnya, ia melihat darah yang keluar dari hidung dan bibirnya membuatnya semakin lemah dan berat untuk memikirkan sisa waktunya. Saat ini ia bisa merasakan cinta, tapi cinta itu takkan ia miliki. Sudah terlalu sering ia menyakiti gadis itu mungkinkah Rachel akan membalas perasaannya. Mungkin jika Rachel menerimanya, itu hanya rasa kasihan bukan cinta, pikir Orion singkat.

Pagi menjelang, hari ini mentari sedikit bersinar diufuk timur. Orion melepas syalnya yang terkena darah agar Rachel tak terlalu khawatir padanya. Saat pagi yang dingin itu, Orion membawa segelas teh ditangannya, matanya tak luput mengamati seorang gadis yang masih tertidur dengan kepalanya yang tersandar di meja. Gadis itu terbangun saat lonceng dirumah Orion berdentang enam kali. Ia masih enggan membuka matanya, tapi karena Orion sudah mampu berdiri sendiri tanpa kursi rodanya ia langsung membuka mata.
“apa yang kau lakukan?,” tanya Rachel terkejut.

Orion tersenyum dan duduk disofa, “aku bisa berjalan, tapi tak jauh, kakiku terasa lemas sekali meski itu dekat,” katanya lirih.
“jangan lakukan lagi!,” kata Rachel cemas, “kau tak tidur semalaman?,” tanyanya saat melihat Orion telah menyelesaikan nada- nadanya dengan sangat rapi didepan pianonya. Tak ada jawaban dari Orion yang terduduk di sofa seolah menahan rasa sakit, “kau tahukan apa yang terjadi padamu jika kau terlalu lelah?,” tanyanya khawatir.
“aku baik- baik saja, Rachel!,” timpang laki- laki mencoba tersenyum dan tak mengindahkan rasa sakitnya.

Rachel mendelik memandang Orion. Ia sudah tak melihat syal yang melingkar dileher laki- laki itu. Saat ia melihat syal itu di sofa, buru- buru ia meraihnya dan melihat apa yang terjadi pada syal itu, “kau berdarah lagi,” katanya dengan wajah sendunya, “aku memang bilang kau harus menyelesaikan nada itu, tapi tidak harus kau menyelesaikannya hari ini!,” katanya seraya berlutut didepan Orion. Tangannya dengan ragu membersihkan darah yang tertinggal dihidung Orion. Tapi darah itu tidak kering, darah itu masih basah. Rachel terdiam menatap Orion seolah waktu laki- laki itu benar- benar tak banyak.
“jika aku tak menyelesaikannya segera, kapan aku bisa menyelesaikannya?,” Orion balik bertanya dengan airmata yang tertahan saat ia melihat darahnya yang masih basah diantara jari- jari tangan Rachel. Tanpa menjawab apapun Rachel memeluknya dengan hangat seolah ia tak ingin melepasnya lagi.
“kapan aku bisa mendengarnya?,” tanya Rachel penuh harap.
“saat perpisahan!,” jawabnya singkat.
Beberapa saat kemudian ia tersadar jika Orion telah tertidur dalam pelukannya, mungkin ia lelah, pikir Rachel dalam hati. Namun saat ia melihat darah yang semakin deras keluar dari hidungnya, ia mulai khawatir. Kulit Orion yang tadinya pucat kini semakin pucat pasi layaknya salju dimusim dingin, bibirnya yang dulu selalu berwarna merah kini sama pucatnya dengan kulitnya. Airmatanya menetes tapi entah kenapa ia semakin mendekap Orion erat- erat tak ingin malaikat Tuhan menyentuhnya walau secuil.

Dalam perjalanan menuju rumah sakit orangtua Orion tak kunjung menghentikan airmatnya. Mereka tak percaya jika ia akan melihat untuk kedua kalinya anak mereka terbaring lemah tak berdaya. Mata ibu Orion terlihat sangat sembab seolah ia terus menangis setiap hari melihat Orion yang tadinya selalu ceria menjadi pemurung. Mungkin dulu Orion adalah anak yang nakal, tapi setelah ia mengenal Rachel, Orion rela berubah demi mencari tahu apa yang sebenarnya ia cari selama ini dan berusaha menghargai oranglain yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Sementara itu tangan Orion yang dingin bagaikan es tak mampu ia lepaskan karena ia terlalu erat menggenggam tangan Rachel.

Hari- hari berlalu, Orion masih terbaring lemah ditempat tidurnya, di rumah sakit. Ia masih belum sadarkan diri. Kulitnya semakin pucat dikian harinya. Rachel dan oranguanya selalu setia menemaninya dan berharap Orion sadar dengan segera. Namun, harapan mereka seperti mengarap hujan dimusim kemarau. Orion tak kunjung sadar. Saat mereka merasa jika sudah tak ada harapan lagi, Orion membuka matanya yang lemah.
“Orion,” sapa ibunya lega saat melihat putranya membuka matanya, “jangan buat ibu cemas lagi, nak!,” katanya sambil memeluk Orion erat- erat.

Orion masih diam memandangi Rachel yang menitihkan airmatanya dari kejauhan. Tapi, ia tersenyum saat ia tahu Rachel tak pernah pergi dari sisinya, “Rachel! Berapa lama aku tak sadar?,”
“sa. .satu bulan,” jawabnya ragu.
Laki- laki itu tersenyum samar dengan airmatanya yang tertahan, “ujian sudah usai. Aku harap kau bisa lulus dan aku bisa menyapamu sebagai Dokter!,” katanya semakin membuat Rachel deras menitihkan airmatanya, “pantaskah kau menangis? Apa aku masih anggota keluarga sekolah?,” tanyanya tapi Rachel tak mampu menjawabnya dengan kata- kata, gadis itu hanya mengangguk pelan, “aku boleh menghadiri pesta perpisahan itu?,”
Saat Orion tahu jawaban dari Rachel, ia bersikukuh pada orangtuanya agar ia diperbolehkan pulang. Meski kakak Rachel ragu, memperbolehkannya tapi ia sadar jika waktu Orion tak banyak. Ia harus memberi waktu pada laki- laki itu agar melakukan hal- hal yang berguna. Orion pulang karena ia ingin berlatih untuk tampil pada pesta perpisahannya, ia ingin memperlihatkan pada teman- temannya jika ia tak selemah apa yang mereka pikirkan dan ia bisa melakukan hal yang berguna di waktunya yang singkat. Meski ia harus mengeluarkan banyak darah karena lelah, Orion tak pernah mau menyerah, ia terus berlatih meski ia tahu tubuhnya takkan mampu untuk melakukan itu.

Hari yang mendung , tapi awan hitam tak kunjung turun membasahi bumi. Banyak dari siswa sudah menggunakan baju pesta mereka. Ini adalah hari perpisahan untuk sekolah Rachel dan Orion. Hari itu, Rachel terlihat cantik sekali dengan gaun putihnya yang sederhana tapi menarik. Sementara itu Orion menggunakan jas hitamnya yang menandakan ia adalah seorang pianis. Meski ia duduk disebuah kursi roda ia masih bisa tersenyum pada orang- orang yang memandangnya. Dulu mungkin ia merasa malu harus duduk di kursi roda, tapi kali ini, ia akan jauh merasa lebih malu jika ia tak bisa menjadi dirinya sendiri. Rachel terus membimbingnya menuju ruang tunggu peserta yang akan tampil utnuk memeriahkan acara itu. Gadis itu tampak ragu melihat laki- laki yang bertambah pucat itu kian harinya.
“ayah, ibu!,” katanya saat Orion tahu jika ia melihat ayah dan ibunya yang bermata sembab berdiri dibelakangnya, “aku mohon, aku ingin tunjukkan pada kalian jika aku bisa dan aku tidak lemah!,” katanya pada orangtuanya yang tampak ragu pada Orion.

Akhirnya meski mereka ragu jika Orion bisa melakukannya, mereka mengangguk dan membuat laki-laki itu tersenyum dengan riangnya. Perlahan ia mulai berdiri dari kursi rodanya dan berjalan menuju panggung dengan seribu persaannya. Tepuk tangan yang menggema seolah telah menguasai pikirannya yang semakin lemah. Sesaat ia tersenyum ramah pada penonton yang menatapnya ragu dan cemas seolah tak pernah terjadi apapun padanya.

Sesaat setelah Orion telah menghadap pada pianonya. Tangannya bergetar dan hatinya terus berkata ‘ini adalah kesempatanku untuk membuktikan jika aku bisa atau mungkin ini adalah kesempatan terakhirku’ ia selalu mengatakan hal itu pada dirinya. Meski setiap kali ia memainkan nada- nada itu, airmatanya menitih dan membasahi pianonya. Perasaan sedihnya saat ia tahu tak lama setelahnya ia akan pergi meninggalkan orang yang sangat ia cintai namun ia belum menyatakan cintanya. Ia tahu jika saat itu malaikat Tuhan sudah berdiri disampingnya dan menatapanya sendu. Seirama dengan nada- nada sendu dari pianonya mengiringi nafasnya yang semakin sesak dan darahnya kembali membasahi hidungnya dan akhirnya jatuh pada piano bersama airmatanya.
“Tuhan, aku mohon, jangan sekarang. Aku ingin melihatnya untuk terakhir kalinya Tuhan. Aku ingin ia tahu jika aku mencintainya. Aku ingin tahu jika aku sangat menyesal pernah menyakitinya,” katanya dengan airmata dan darah yang semakin deras meninggalkan tubuhnya, “aku ingin berterimakasih padanya karena telah menunjukkan hidup padaku!,” tambahnya dengan nafas yang semakin menyesakkan dada.

Sementara itu, penonton yang tadinya terdiam melihat Orion kini mereka menitihkan airmata mereka seolah mereka bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Orion. Mereka tak menyangka jika Orion tak pernah menyerah dengan keterbatasan Tuhan yang diberikan padanya, itu bahkan membuatnya semakin tahu apa artinya menghargai hidup. Setelah beberapa nada terakhir dimainkan Orion dengan jarinya yang semakin lemah, Orion tersenyum, ia bisa menyelesaikannya dengan sempurna. Ia membiarkan senyumnya menghiasi wajah pucatnya dan tepuk tangan penonton menguasai pikirannya yang semakin lemah. Saat itu, ia hanya memikirkan Rachel dan Rachel hingga pada akhirnya tubuhnya terhuyung dan jatuh pada karpet yang menghiasi lantai panggung itu. Semuanya terdiam melihat Orion yang pingsan di panggung, tak lama setelahnya mereka melihat Rachel bersama sang kakak memasuki panggung itu dengan airmata mereka.

Rachel buru- buru mendekap Orion yang semakin dinginnya, “kaukah itu?,” tanya lemah saat membuka mata, “aku tahu, Rachel kau akan datang, meski kau tak datang tapi malaikat Tuhan sudah disampingku, aku akan menantimu. Aku akan terus menantimu!,” katanya saat matanya menemukan mata Rachel yang basah oleh airmata.
“kenapa?,” tanyanya ragu.
“aku ingin kau tahu satu hal!,” katanya berusaha keras tak menangis dihadapan Rachel, “aku ingin kau tahu, jika aku sangat mencintaimu,”
Rachel semakin erat mendekap Orion dan airmatanya juga deras, “kenapa kau baru mengatakannya sekarang? Kenapa?,”

Orion mencoba tersenyum meski akhirnbya airmatanya jatuh membasahi wajahnya, “aku tahu kau takkan mungkin kumiliki!,” katanya membuat nafas Rachel sesak, “aku tak ingin menyakitimu dan meninggalkanmu. Rachel , ,kau masih ingat apa yang kuminta pada Tuhan?,” tanyanya dengan suaranya yang semakin tidak jelas dan matanya sudah mulai terpejam, “aku minta pada Tuhan untuk mengirimkan seseorang malaikat yang akan menemaniku yang terlalu sedih karena kehilangan kakakku. Tuhan telah mengabulkannya, tapi aku justru melukai malaikat itu dan selalu membuatnya menangis. Aku menyesal sekali, kenapa kau hanya mengenalnya sesaat dan terus membuatnya menangis. Kini Tuhan ingin aku kembali agar tak ada satupun orang yang bisa melukai dan membuat bidadari itu,”
“aku tak pernah merasa kau melukaiku!,” timpang Rachel lembut.
“terimakasih,” katanya sambil berbisik ditelinga Rachel karena ia tahu jika dirinya semakinlemah.

Hujan rintik membasahi jalan setapak yang dipenuhi bunga yang berwarna- warni mengihiasi pemakaman. Rachel berdiam diri menatapi tanah pemakaman yang menghijau ditumbuhi rumput yang dipotong rapi dan dipenuhi bunga- bunga yang diberikan orang- orang yang mencintai Orion setiap harinya. Meski ragu, ia terus berjalan menyusuri jalan itu. Jalannya tak berubah pikir Rachel singkat saat ia melihat bunga- bunga yang tumbuh sepanjang jalan itu. Sudah empat tahun ia meninggalkan kota itu untuk belajar di luar kota dan mengejar cita- citanya, dokter. Kini ia telah menjadi dokter, senyumnya yang ramah selalu ia bawa untuk membuat pasiennya merasa nyaman. Saat ia menemukan makam Orion yang sudah lama tak dikunjunginya, ia tertegun melihat seseorang yang sedang duduk disamping nisan Orion dan merangkulnya, Bobby.
“hai!,” sapa Bobby ramah saat menyadari Rachel datang, “lama tak mengunjungi makam Orion?,” tanyanya basa- basi, dulu tak pernah sekalipun orang itu mengajak Rachel bicara.
“4 tahun, dan aku sangat merindukannya!,” katanya membuat Bobby tesenyum ramah.
“dia juga merindukanmu! Dan dia memang pantas dirindukan,” kata Bobby membuat Rachel tercengang.
“bukankah kau dulu meninggalkan Orion dimasa tersulitnya?,”

Bobby terdiam dan berjalan mendekati Rachel, “aku memang melakukannya, dan aku sangat menyesalinya. Dia yang mengajarkanku sesuatu untuk menghargai segala apapun yang diberikan Tuhan, karena meski itu buruk, Tuhan ingin kita mengingat-Nya dan mencintainya. Termasuk sahabat, aku sadar jika ia sudah tiada, kesedihan itu baru terasa. Dulu aku memang bodoh! Tapi akan kulakukan sesuatu untuk menebusnya!,” tambahnya membuat Rachel terdiam memandang laki- laki yang sudah berubah sepenuhnya itu, raut wajahnya seolah bertanya padanya, “ia meninggalkan seorang malaikat! Dan aku harus menjaga malaikat itu!,” katanya membuat Rachel tersenyum.
PROFIL PENULIS'
Nama : Tantri Pradhita Yudhi Astri
E-mail: rubyallesandra@rocketmail.com
TTL: 08 Jutly 1993


0 komentar:

Posting Komentar