Selasa, 12 Februari 2013

Cerpen “Valentine, Fallen Tien, Fallen Teen”


Tidak pernah ada cinta di hati Tien. Hidup tidak memberinya cinta sedikitpun. Dia lahir juga bukan karena cinta. Orang tuanya menjodohkan ibunya dengan pria yang tidak ia cintai. Subhan nama pria itu. Dan akhir kisah rumah tangga itu sudah bisa ditebak. Kedua orang tua Tien tidak pernah bisa memaksakan cinta lebih lama lagi. Maka ibu Tien kawin lari dengan pria pilihannya dahulu sambil mengandung Tien yang berusia tujuh bulan.
Tien di sini sekarang. Kembali merenungi hidupnya yang pahit itu. Tentu saja Tien mengenal cinta. Hanya saja dia belum juga merasakannya. Malang benar nasib Tien. Dia sudah meninggalkan masa kanak-kanaknya sekarang. Usia remaja juga sudah dijalaninya sejak tiga tahun yang lalu.
Ah, betapa Tien membutuhkan cinta.
Tien selalu ingat masa lalunya. Menurutnya setiap manusia itu minimal mendapatkan cinta dari orang tuanya. Tapi Tien tidak pernah mendapat hak itu. Tien pernah mendengar bahwa induk harimau sekalipun tidak pernah melukai anak-anaknya. Aku ingin jadi anak harimau saja kalau begitu, pikirnya. Induk manusia lebih kejam. Tien banyak membaca dari koran bekas yang dipungutnya. Membaca tentang aborsi, pembuangan bayi dan penganiayaan anak oleh orang tua.
Tien tidak penah mengalami kekejaman fisik itu. Tapi Tien tahu ibunya sangat membencinya. Sama seperti kebencian ibu terhadap Subhan suami pertamanya, ayah Tien. Suatu ketika ibunya pernah berkata kalau Tien selalu mengingatkannya pada suami terkutuk itu. Ya Tuhan, bahkan ibu kandung Tien menganaktirikannya. Bagi Tien, ibunya telah mengaborsi, membuang sekaligus menganiaya dalam takaran batinnya.
Maka Tien tidak pernah menangis ketika ibunya mati.
Tien praktis tinggal dengan ayah tirinya setelah itu. Apakah ayah tirinya memberinya cinta? Tien tidak begitu memahaminya. Ayah tirinya baik, ramah tapi tidak ada cinta di hatinya. Tien merasakan kekosongan yang aneh. Dengan usianya yang baru tujuh tahun Tien tidak memahaminya. Sesekali ayahnya melepaskan pakaiannya dan Tien berpikir: ya, ayah yang baik melepaskan pakaianku untuk dicuci. Sesekali ayah Tien memandikannya dan Tien masih bepikir: ya, ayah yang perhatian sudah wajar jika sesekali memandikanku. Sesekali ayah Tien meraba-raba tubuh Tien dan Tien tetap berpikir: ya, ayah yang penolong membantuku membersihkan dan menyabun daki-daki di badanku. Dan sesekali ayah Tien memasukkan kemaluannya ke kemaluan Tien dan Tien semakin tidak memahaminya: entahlah apa yang dilakukan ayah. Pertama menyakitkan tapi ayah selalu menghiburku. Dan permen-permen itu sangatlah lezat. Ayah adalah penghibur yang baik.
Tien di sini sekarang. Sudah memahami segalanya dengan baik. Ternyata ibunya memilih pria bejat untuk dinikahi. Mungkin kakek neneknya telah mengetahui keburukan pria pilihan ibunya ini. Maka dijodohkanlah ibu dengan pria baik-baik menurut mereka.
Ah, kakek nenek, dimanakah kalian tinggal? Ibu telah memisahkan kita. Memisahkan satu-satunya kemungkinan adanya sumber cinta yang selama ini aku rindukan.
Ayahnya resmi memutus sekolah Tien sesaat setelah lulus SD. Itu artinya sebelum Tien mendapatkan penjelasan edukatif biologis tentang apa yang dilakukan oleh ayahnya, dia resmi terputus dari pendidikan formalnya. Pengetahuannya akan datang terlambat dan itulah tujuan sang ayah.
Tien mulai mengenal teman-teman ayahnya yang sering datang ke rumahnya. Tien dengan pemahaman seusianya kala itu menyebutnya: ‘teman-teman kantor’ ayah. Hanya saja Tien tidak pernah paham bahwa ‘teman-teman kantor’ ayahnya itu melakukan persis apa yang dilakukan ayahnya. Tien bukannya terganggu. Tien hanya tidak mengerti. Tapi yang Tien tahu, ayahnya selalu memanjakannya setelah itu. Sepertinya ayahnya selalu mendapatkan banyak uang setelah teman kantor ayah itu selesai ‘bermain’ dengannya.
Mungkin ayah telah berdagang sesuatu dengan teman kantornya.
Tien selalu sesak mengingat alur hidupnya yang tak seindah sinetron. Tapi Tien sudah tidak pernah menangis. Tien lupa kapan teakhir menangis. Tangisan hanyalah untuk orang-orang yang cintanya terenggut, pikirnya. Sedangkan Tien, tidak pernah memiliki cinta sejak lahir. Jadi tidak ada sedikitpun yang terenggut darinya.
Tien yang kini telah memahami segalanya, selalu terkurung dengan perasaan benci itu. Kepada ibunya yang memisahkan dirinya dengan cinta yang ia butuhkan. Ibunya yang juga melahirkannya dengan kebencian. Dan tentu saja ayah tirinya yang telah mengantarkan nasibnya pada detik ini dan di tempat ini.
Pada suatu ketika itu teman kantor ayah membicarakan sesuatu dengan ayah. Hasil dari pembicaraannya itulah yang membuat Tien pergi dari rumah ayah. Tien harus ikut Om kata ayahnya ketika itu.
Ayah menjanjikan aku akan senang. Ayah berkata Om akan membelikan apapun yang aku mau. Tentu saja, tentu saja aku mau pergi bersama Om ini. Tien tahu ayahnya berkata benar. Buktinya ayahnya setelah itu memegang banyak duit dari si Om yang pastinya nanti akan dipakai untuk membelikan Tien apa saja. Dan Om yang telah memberikan uang sebanyak itu pada ayah pastilah kaya raya. Om itu pasti akan banyak membelikan sesuatu juga.
Lambat laun Tien mengerti juga. Perjalanan hidupnya akhirnya mendewasakannya juga. Tien mulai tahu betapa kejamnya ayahnya yang menjualnya kepada teman kantornya. Dan si Om yang sama kejamnya dengan ayah. Semua memperlakukannya sama seperti yang dilakukan ayahnya dulu. Sama seperti yang dilakukan ‘teman kantor’ ayah dulu. Sekarang ‘teman kantor’ Om melakukan hal yang sama dengan membayar sejumlah uang kepada si Om. Semuanya sama. Bedanya, Tien sekarang sudah mengerti. Ketika itu Tien tidak terganggu. Tien rela, pasrah. Tapi Tien merasa semakin kosong. Kemanakah cinta untuknya?
Sekarang Tien sedang berdiri di sini. Di sebuah jembatan sepanjang lima ratus meter yang baru berusia satu tahun. Masih baru. Di sinilah titik yang paling menyenangkan untuk Tien. Di sinilah Tien bisa menunggu matahari tebenam.
Jika aku tidak bisa mendapatkan cinta dari sesama, biarlah aku mengais cinta dari pesona matahari yang mulai meninggalkan langit tempatku berpijak ini. Matahari telah memberikan cintanya pada alam. Sekarang sebelum dia pergi, aku ingin merasakan sedikit dari hangatnya cinta yang masih tersisa itu.
Tien masih di sini. Menatap jenuh. Kekosongan itu bisa juga jenuh ternyata. Mengenang kekosongan dan kejenuhan yang sama ketika Tien memutuskan berlari dari semuanya. Berlari secara lahir dan batin. Dini hari dua tahun yang lalu itu Tien mencoba peruntungannya. Dan beruntunglah si Om yang tidak pernah menaruh curiga pada Tien, yang dikenalnya sebagai ‘barang dagangannya’ yang paling penurut, membuat pelarian Tien bukanlah perkara yang sulit. Dengan uang hasil penjualan dirinya itu cukuplah untuk menghilang dengan jarak sejauh lima kota dari ‘kantor’ Om. Tak ada yang bisa menemukannya di kota ini. Kota yang memiliki jembatan baru yang indah. Cocok untuk Tien yang sedang merenung saat ini.
Di sini Tien berdiri menunggu matahari terbenam. Sama seperti senja-senja sebelumnya. Setelah penat dengan pekerjaan seharian itu. bukanlah pekerjaan yang menyenangkan jika Tien harus berkeliling kota dengan sepeda tua berkeranjangnya, hasil menabung selama enam bulan, yang penuh dengan kertas bekas. Melelahkan memang tapi Tien sedikit menikmatinya. Tien mulai berpikir, mungkin transaksi perasaan cinta-mencintai itu memang tidak ada. Yang ada hanyalah transaksi jual beli yang dinilai dengan uang. Uang yang membuatnya tetap hidup. Bukan cinta.
Tapi malam ini nampaknya telah merubah pandangan Tien.
Malam yang sederhana. Dengan situasi dan keadaan yang biasa. Di jembatan ini Tien telah hafal benar dengan kebiasaan anak-anak muda seumurannya, yang berpasang-pasangan, ikut meramaikan kedua sisi jembatan itu tiap senja mulai menggelap. Jembatan remang-remang yang cocok untuk memadu kasih. Kendaraan yang lewat juga tidak banyak. Entah mengapa lampu penerang jalan yang berjajar sepanjang jembatan yang masing-masing berjarak seratus meteran itu tidak pernah menyala. Seolah para ahli tata kota sengaja menjadikannya sebagai tempat cocok untuk berpacaran. Atau mungkin para vandalis kota telah merusak sensor lampu agar tidak lagi otomatis menyala ketika senja tiba.
Senja mulai menghitam. Tien mulai melihat beberapa pasangan mulai berdatangan. Seperti biasa, pikir Tien. Tien juga sudah bosan dengan gaya cakap-cakap para dua sejoli itu. Yang satu pandai merayu, satu lagi pura-pura malu tapi mau. Tien bosan dan dia selalu berhasil berkutat pada lamunannya. Tapi tidak malam itu. Dia sayup-sayup mendengar sang pria berucap ‘selamat hari valentine’ pada pasangannya. Hanya sekali Tien mendengar sudah cukup membuatnya keluar dari lamunan dan memalingkan wajah. Menengok pasangan itu. Tidak, tidak hanya satu. Beberapa pasangan lagi mengatakan kata yang sejenis sesaat berikutnya. Beberapa lagi bersendau gurau dan menyinggung kata yang sama.Semuanya, pikir Tien.
Valentine. Tien tahu kata itu. Tahu tentang perayaan dimana orang-orang meramaikannya dengan atribut berwarna pink. Lihatlah, para pasangan di jembatan itu memakai pakaian dengan unsur pink juga. Tien tahu betul peringatan hari kasih sayang itu.
Hari ini adalah hari valentine. Seluruh dunia merayakannya. Kecuali aku…
Tien sesak. Hatinya menangis. Kembali lagi dia mendambakan cinta. Kemanakah cinta untuk Tien? Tien ingin cinta menerbangkan kebahagian seperti kebahagiaan yang terpancar pada sejoli-sejoli di sekitarnya itu. Tien ingin terbang bersama orang-orang yang dicintainya. Tien ingin terbang dilangit luas agar sesak di hatinya terlepas melega.
Jembatan itu remang-remang. Tak ada yang tahu bahwa Tien mencoba terbang. Meluncur kebawah. Tien berharap cinta akan menerbangkannya pada detik-detik terakhir.
2
“Fenomena apa yang terjadi pada anak muda akhir-akhir ini benar-benar harus diwaspadai. Psikologis remaja yang baru berkembang bisa jadi adalah silent killer yang cukup serius selain obat-obatan terlarang. Bagiamana tidak? Dalam tiga bulan terakhir kita jumpai fenomena yang nampaknya menjadi tren. Apakah Shakespeare patut dipersalahkan jika anak muda jaman sekarang lebih memilih bunuh diri hanya karena tidak mampu menanggung beban percintaan? Meniru Romeo Juliet katanya. Ataukah pemerintah yang harus bersikap hanya karena tidak pernah bisa menyelesaikan urusan pelik yang bernama ekonomi?
Bagaimanapun juga bunuh diri di kalangan remaja di Indonesia cenderung meningkat. Adapun jumlah tertinggi pelaku bunuh diri berada pada kisaran usia remaja dan dewasa muda (15-24 tahun). Laki-laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak daripada perempuan. Sedangkan perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attempt suicide) empat kali lebih banyak daripada laki-laki.
Laporan kejadian bunuh diri tertinggi di Indonesia tercatat di Gunung Kidul Yogyakarta yaitu 9 kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan di Jakarta hanya 1,2 per 100.000 penduduk.”
………………………………………………………
“Kau tidak lupa memasukkan bahasan pada kasus terakhir dua hari yang lalu itu kan?” tanya seseorang dari bagian percetakan kepada seorang kolumnis yang sedang asik mengetik.
“Mana bisa aku lupa?” Kata si kolumnis sambil menghentikan kegiatannya sejenak. “Kamu tahu kan kemarin aku bela-belain untuk ke TKP. Meliput secara langsung. Sungguh menyedihkan kalau kamu melihatnya juga. Dan anak itu akan sedikit merubah data statistik yang sudah aku hitung sebelumnya. Tenang saja, data terbaru itu sudah siap aku cantumkan kok.”
“Mengharukan?” dahinya mulai sedikit berkerut. “Mengerikan maksudmu?”
“Tentu saja mengerikan. Korban terjun bebas mana yang matinya anggun? Tapi aku sedih, melihat wajah mayat itu… Dia tersenyum.”
“Ah, sudahlah. Bicaramu mulai mengerikan. Cepat selesaikan artikelmu itu. Jangan masukkan bagian itu. Koran kita bukan koran mistik.”
Kolumnis itu nyengir dan segera kembali berkutat pada laptopnya. Mengetik dengan cepat.  Trending news dengan kasus terakhir dua hari yang lalu itu membuat otaknya kebanjiran ide yang harus ditulis dan diselesaikan segera. Ini kasus menarik. Biarpun kasus terakhir hanya melibatkan seorang gadis gelandangan, tapi tetap saja bunuh diri di malam valentine akan cukup menarik untuk dibahas. Entah apa latar belakangnya, tak ada informasi satupun. Dia remaja gelandangan. Tak ada seorangpun yang tahu kisahnya. Pengaruhnya dalam berita ini mungkin hanya sekedar perubahan data statistik.
“Eh, buruan ya. Setengah jam lagi deadline naik cetak.” Kata manajer percetakan, mengingatkan.
“Oke, aku hampir selesai. Beberapa kata lagi dan artikel ini siap diterbitkan.” Kolumnis itu tampak puas dengan idenya yang telah tertuang dalam 2 halaman yang terketik rapi itu. Sebagai penutup artikel itu, dia menuliskan:


Yogyakarta, 16 Februari 2012,

Subhan


Sumber : www.anyamkata.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar