Selasa, 24 Juli 2012
Cerpen "MUNGKIN BUKAN JODOHKU"
Karya
Mardiono
Usai mengikuti pengajian rutin disekolah tempat
mereka mengajar.
“ Luna, gak biasanya kamu gini. Apa kamu sakit
? koq kelihatannya dari tadi melamun terus “ Tanya Rahmi sambil
jalan menuju ke rumah.
“ seandainya kamu tahu apa yang ada
dihatiku Rahmi, kau pasti gak akan terima ini…” gumam Luna dalam
hati.
“ hallo….” Tegur rahmi membuyarkan lamunannya.
“
ha, oh,. Ehm… gak papa kok mi, oh ya gimana? tadi malam jadi
kerumah Bu Zuraidah ?, trus gimana hasilnya ? “ jawab Luna
mengalihkan pembicaraan.
“ sudah kubilang. Untuk sekarang ini,
aku belum mau memikirkan hal itu.
Pernikahan merupakan suatu hal yang
sakral, yang harus kita jalani dengan serius, karena itu bukan
sementara, tapi untuk selamanya…” ucap rahmi sedih. Ia terus
memikirkan ayahnya yang sakit – sakitan. Ia masih ingin terus
mengurusnya. Ia tak tega kalau harus meninggalkannya. Sementara Bu
Zuraidah, ketua yayasan mereka, ingin menjodohkan Rahmi dengan salah
satu guru disitu.
“ Rahmi, aku ngerti kok perasaanmu. Tapi
cobalah kamu istikharah meminta petunjuk kepada Allah. Kesempatan
tidak datang dua kali. Pak Ferdhi sangat cocok untukmu. Dia seorang
Da’i. Kami semua guru – guru disini mendukung..” ucap Luna
membesarkan hatinya, sambil menghapus setetes air mata Rahmi yang
tiba – tiba saja jatuh mengingat ayahnya yang sedang sakit. Mereka
berhenti sesaat. Sebenarnya Luna tidak tega kalau harus merebut
ferdhi dari tangannya karena Rahmi begitu akrab dengannya.
***
Malam
itu.
Kepala luna sakit sekali, mengingat ucapan yang baru saja
didengar. Ia menangis. Masih terngiang ditelinga ucapan ibunya.
“
Luna, kapan lagi kamu menikah…?, sudah dua adikmu yang
melangkahimu, cepat – cepatlah kamu cari jodoh. Ibu sudah ingin
menimang cucu dari kamu..”
Ia masih duduk terdiam ditempat
tidur, melihat fhoto kekasihnya. Selaksa raut wajah dan tragedi itu
terputar kembali mengenang masa lalunya.
Pesta yang megah telah
digelar. Seratus undangan lebih telah tersebar. Tapi bukannya
mempelai laki – laki yang datang, malahan seorang lelaki berkumis
tebal, berbaju seragam cokelat dan bertitel, datang dan menanyakan
kejelasan KTP yang diberikan. Korban kecelakaan lalu lintas.
Gaun
kebaya yang masih melekat, menjadi saksi perpisahan mereka dirumah
sakit. Sang calon suami hanya diam terbujur lemas bersanding infus
dan hirupan oksigen yang melekat di wajahnya. Ia mengejar dokter usai
proses operasi. Namun dokter berkata, “ hanya ini yang sanggup kami
lakukan. Tuhanlah yang menentukan segalanya. “ ucap dokter itu
sedih penuh penyesalan. Mendengar itu, perasaan bahagia dan cinta
yang telah terbangun lama, kini roboh berserakan. Jilbab yang anggun,
tak lagi tertata rapi oleh sedihnya. Lututnya melantai. Derai air
matanya tak kunjung henti. Dalam hati ia ingin berteriak, ya Rabb….
Kenapa kau timpakan ini padaku?
Sepertiga
malam ia habiskan untuk bermunajat kepada Allah swt. Ia terus
menangis, memohon pada yang Kuasa, agar dimudahkan jodohnya.
Sebenarnya beberapa calon telah ditawarkan kepadanya. Ada yang
pengusaha, PNS, angkatan, bahkan ada yang ingin melamarnya seorang
konglomerat. Namun semua itu ia tolak. Apalah artinya harta yang
melimpah apabila tidak dilandasi keimanan dan ketaqwaan yang dapat
mengokohkan bahtera rumah tangga. Semua itu ia tuangkan dalam diary
mungil, selepas tahajjudnya.
***
Fajar sidik mulai
membangunkan sang mentari dari peraduannya. Selesai sholat subuh, ia
tidur kembali.
“ Luna, kamu gak ngajar ?, sekarang sudah jam
delapan..” ibunya membangunkan dengan lembut.
“
astaghfirullah…” ucapnya tersentak saat mendengar jam delapan.
Langsung ia berberes dan mempersiapkan segala sesuatunya. Bukupun
asal sahut saja tanpa melihat – lihat lagi yang mana yang akan
diajarkan nanti.
***
Ferdhi tiba di sekolah telat. Ia
melihat Madrasah sepi. Beberapa orang tua menggandeng tangan anaknya
kembali pulang.
“ kenapa pulang bu?” Tanya ferdhi penuh
penasaran, sambil memarkir sepeda motornya dan melepas helm dari
kepalanya.
“ lho kok Bapak gak pergi?, ayahnya bu rahmi sekarang
sedang kritis di rumah sakit. Semua guru menjenguk kesana. Anak –
anak hari ini diliburkan.” Jawab orang tua murid.
Ferdhi
langsung balik arah menuju rumah sakit. Tapi ketika ia sampai
disimpang, angkot warna putih berhenti didepannya. Luna turun
tergesa.
“ Bu Luna.. ,” panggil Ferdhi mengejutkan.
Baru
saja Luna membayar ongkos pada pak supir.
“ ada apa pak?”
Tanya Luna heran. Jarang sekali Ferdhi mau ngobrol dengan rekan guru
akhwat. Kecuali ada sesuatu hal yang sangat penting. Dengan singkat
ferdhi memberitahukan kabar yang ia dapat. Merekapun bergegas ingin
pergi ke rumah sakit. Luna sangat segan dan ragu, ingin minta
bonceng. Begitu juga ferdhi. Ia sangat menjaga hijab. Mungkin ia
lebih baik memberikan sepeda motornya untuk luna kendarai, daripada
harus memboncengnya.
“ Bu Luna naik angkot saja ya?”
“ ya
pak. Gak papa, Bapak duluan saja. Nanti saya menyusul. “
Madrasah
sunyi. Semua murid – murid sudah dijemput oleh orang tuanya. Ada
juga yang pulang sendiri karena rumahnya dekat. Ferdhi tidak tega
harus meninggalkannya luna sendirian. Iapun menunggu Luna sampai
dapat angkot. Satu setengah jam mereka menunggu angkot. Tetap tak
tampak melintas. Angkot lintas ke madrasah memang sangat jarang. Satu
– satu. Apalagi kalau sudah jam delapan keatas. Tidak ada sewa.
Para pekerja dan pelajar sudah berada ditempatnya masing – masing.
Angkot – angkot itu juga menunggu sewa diterminal sampai penuh,
baru mau berangkat.
Mereka resah. Entah apa yang sudah terjadi
dirumah sakit sana. Mereka ingin segera kesana. Ferdhi juga bingung.
Satupun becak juga tak ada yang muncul. Kalaupun ada, sudah berisi
kian penumpang yang ia bawa dari tempat mangkal. Mentari semakin
meninggi.
Mereka
tidak mungkin melama – lamakannya. Saat darurat, segala sesuatu
yang tidak boleh menjadi boleh. Gak mungkin ferdhi meninggalkan Luna
sendiri ditempat yang sepi. Ferdhi mempersilahkan Luna naik disepeda
motornya. Mereka segera meluncur. Ferdhi cukup tangkas menerobos
mobil – mobil besar yang mengangkut pasir dan batu.
Luna juga
tahu batas. Tidak seperti remaja sekarang pada umumnya. Gak tahu
malu. Boncengan dengan bukan muhrimnya. Memeluknya layaknya suami
istri. Bahkan mungkin suami istripun malu melakukan itu ditempat
umum. Dasar zaman edan !!
Dus, mereka sampai dirumah sakit.
Sejurus kemudian, mereka menemui guru – guru lainnya yang telah
lama berada disana. Keluarga Rahmi berada didepan ruang gawat
darurat. Spontan Bu Zuraidah mendekati Ferdhi dan menggiringnya ke
sudut ruangan.
“ Pak Ferdhi, mungkin hanya Bapak yang dapat
menyelamatkan ini. Rahmi sedari tadi pingsan belum siuman. Ia sangat
takut ayahnya meninggal. Dari sekian orang saudaranya, hanya
Rahmi-lah yang paling disayang oleh ayahnya” ucap Bu Zuraidah penuh
pengharapan dan sedih. Ia melanjutkan..
“ sebelum ayahnya sakit,
ayahnya berpesan bahwa ia ingin melihat Rahmi menikah sebelum ia
pergi…, entah apa maksudnya. Tolonglah Pak Ferdhi, Rahmi orangnya
ta’at, ia sabar dan sebentar lagipun akan diwisuda. Cocok untuk
jadi da’iah pendamping pak Ferdhi”, jelasnya runut, mendesak
penuh harapan. Wajahnya memelas.
Sebenarnya
telah lama juga Ferdhi jatuh hati pada Rahmi. Ia beda dengan guru –
guru yang lainnya, yang hanya memakai jilbab dan rok saat mengajar
saja. Bahkan rahmi sering ikut pengajian rutin ibu – ibu arisan
yang diisi oleh Ferdhi. Jilbabnya yang menjulur lebar, baju gamisnya
yang longgar dan panjang, mampu menusuk hati Ferdhi bagai panah
asmara. Seketika itu juga Bu Zuraidah mengurus tuan kadi dan mahar
yang ala kadarnya. Asal ini berlangsung.
Sementara
itu, Luna terus mengipasi Rahmi yang tengah pingsan di ruang tunggu
dengan buku yang asal cabut dari tasnya. Tapi tiba – tiba saja
tangan Luna di tarik oleh salah satu guru yang lain, sebentar keluar.
Kondisi ayah Rahmi semakin parah. Buku yang dipakai luna untuk
mengipas, tertinggal disamping Rahmi yang mulai sadar.
Tanpa
sengaja rahmi membuka buku itu. Wangi penuh hiasan stabilo dan tinta
warna. Itu buku diary Luna. Ia buka halaman terakhir…
Jum’at,
22 januari 2010
Pukul 03: 15
……..
“ ya Rabb,
seandainya aku boleh menjual diriku, akan kuberikan seluruh jiwa dan
ragaku untuknya seorang. Aku mencintainya karena keimanan dan
ketaqwaannya. Namun aku tak mau menjadi pagar makan tanaman. Biarlah
pak Ferdhi bahagia dengan Bu Rahmi.
Rabbighfirli ala kulli
dzunubi..
***
Semua berkumpul diruang UGD. Termasuk Rahmi
yang dibopong masuk oleh guru yang lain. Bu Zuraidah sudah
mengkonfirmasikan ke dokter yang menangani ini. Iapun mendapat
izin.
“ayah !! bangun ayah. Sekarang Rahmi akan penuhi
permintaan ayah…” ucapnya sesenggukan dengan terus mengharap
jawaban. Air matanya tak terbendung. Tuan kadi, Ferdhi, Bu Zuraidah,
Luna dan rekan guru lainnya juga cemas. Namun jawaban yang keluar,
lain dari apa yang diharapkan.
Titttttttt……
Gambar
gelombang deteksi jantung dilayar monitor bergaris lurus. Innalillahi
wa inna lillahi roji’un…
Suasana haru pilu berkelebat dalam
ruangan itu. Ferdhi, Luna, Bu Zuraidah, tuan kadi, rekan guru dan
beberapa suster yang direncanakan akan jadi saksi nikah, melihat
Rahmi yang tengah sedih tak karuan. Ia memeluk ibunya dan terus
menangis. Tak ada yang berani mengusik mereka.
Cepat
– cepat Ferdhi membenahi posisi ayahnya. Mengatur perlengkapan
mayat seadanya. Sementara Bu Zuraidah menyelesaikan administrasi
rumah sakit agar jenazah ayahnya cepat dibawa pulang. Tapi Luna, ia
hanya bisa melihat sosok sahabat karibnya tengah berkabung. Kasihan.
Dalam beberapa minggu ini Rahmi terus sedih memikirkan ayahnya.
Luna
mendekati Rahmi. Ia memeluknya. Sesaat hanyut dalam kesedihan.
“mi,
kamu harus ikhlas ya. Semua ini sudah kehendak yang kuasa..”
ucapnya berusaha menyeka air mata Rahmi dipipinya.
Setelah selesai
memposisikan jenazah, Ferdhipun menghampiri mereka. Ia memberi
semangat agar terus positif menatap hidup ke depan. Namun semua itu
tetap tak dapat melunturkan kesedihan rahmi. Tatapan matanya kosong.
Fikirannya buntu. Tapi entah kenapa, saat melihat mereka berdua, ia
jadi teringat dengan tulisan yang sempat ia baca di diary Luna
tadi.
“Setidaknya aku bahagia melihat kalian berdua bahagia”
ucap Rahmi yang tiba – tiba bereaksi. Ia menarik tangan Luna dan
Ferdhi yang beralaskan baju kokonya. Begitu juga saat disatukan.
Tangan Ferdhi diletakkan ditangan yang berbalut gamisnya. Luna masih
bingung
“aku sudah membaca buku diary mu na, aku ingin kalian
menikah”. Lanjut Rahmi pasrah. Semua yang mendengar bergetar heran
dengan keputusan rahmi. Bu zuraidah menatap penuh kebimbangan.
Bahagia dalam pilu. Dua sahabat yang saling mencintai karena Allah.
Didepan rahmi, tuan kadi menjalankan prosesi akad nikah untuk Luna
dan Ferdhi. Sungguh mulia hati Rahmi. Disaat kekalutannya ia masih
bias memikirkan orang lain.
Tahajjud luna tak sia – sia. Allah
tidak tidur. Ia maha tahu isi hati hambanya. Dan cintapun merebak
dengan ikhlasnya.
Tamat
Selesai februari 2010
Direvisi,
20 November 2010
Di sipange
PROFIL
PENULIS
Mardiono,
Lulus SMK Negeri 7 Medan, jurusan akuntansi tahun 2004.Dan telah
menyelesaikan pendidikan S1-nya di STAI BU PANDAN Maret 2012.
Cerpen
yang telah di terbitkan, “ Tatapan Matanya” pada 04 Oktober 2010
di annida online, dapat di baca di
(http://annida-online.com/media.php?module=detailartikel&id=2251&page=1)
:batabig
BalasHapus