Selasa, 29 Januari 2013

Cerpen "Apakah Kamu masih yang Dulu Kukenal?"

Cerpen ini merupakan karya Dewita Sari yang saya kutip dari blognya dwitasarii.blogspot.com yang menceritakan tentang sepasang kekasih yang mengalami masa yang sulit ketika perubahan yang dialami salah satu dari mereka membuat hubungan  pasangan tersebut menjadi renggang .
untuk selengkapnya silahkan baca cerpen "Apakah Kamu masih yang Dulu Kukenal?"

                Aku menatap wanita yang kucintai itu dengan tatapan bersalah. Sebenarnya aku juga tidak tahu siapa yang salah, aku yang salah atau dia yang salah. Rasanya memang tak ada yang membuat kesalahan, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah di antara kita. Dia wanita yang sungguh berbeda. Wanita yang tidak lagi kukenal. Aku kehilangan cara untuk menghadapi segala macam tindakannya.
                “Aku enggak mau makan di situ, mahal.”
                “Aku yang bayarin!” ucap kekasihku sambil menarik dompetnya dari tas, “Kita makan di sana aja ya, enak kok, banyak gizinya, supaya kamu gendutan dikit. Kalau kurus kan enggak enak dipeluk.”
                “Kamu yang bayarin?”
                Well, kenapa?”
                “Emangnya kita enggak bisa makan dipinggiran jalan aja? Yang lebih enak, lebih murah juga.”
                “Enggak ah, makan di sana berdebu, banyak asap kendaraan bermotor. Aku mau makan di restoran aja.”
                “Aku enggak mau.”
                “Kenapa? Emangnya salah kalau aku memberikan yang terbaik untuk pacarku sendiri? Kalau makan di pinggir jalan nanti kamu sakit. Kamu kan enggak tahu bahan campuran dari makanan itu bersih atau enggak.”
                “Restoran itu mahal, Sayang. Aku enggak bisa bayarin kamu makan di sana!”
                Wanitaku terdiam sesaat, ia hanya menatapku dengan tatapan bersalah, “Memangnya salah kalau aku bayarin kamu?”
                “Enggak ada yang salah, cuma terlalu sering. Aku kan cowok, kewajibanku adalah membayar kebutuhanmu.”
                “Siapa yang bikin peraturan kayak gitu? Gender banget. Cewek enggak boleh bayarin cowok?”
                “Itu bukan peraturan, Sayang. Itu seperti kodrat, sebuah keharusan.”
                “Kita cuma mau makan, bukan mau ngurusin kewajiban dan hak. Ribet banget sih kamu!”
                “Kamu itu pacar aku, harusnya kamu mau aku atur.”
                “Oh, gitu, mentang-mentang aku cewek, lantas kamu berhak mengatur aku?”
                “Bukan, maksud aku, kapan kamu memberi aku kesempatan menjadi laki-laki seutuhnya? Yang bisa melindungi kamu dan memenuhi kebutuhanmu?”
                “Aku bukan wanita manja yang butuh lelaki sebagai penutup kelemahan. Aku bisa menutupi kelemahanku sendiri.”
                “Itulah, Sayang, yang seringkali aku benci dari sikap kamu. Sombong.”
                “Aku yang bayarin kamu segalanya! Karena apa? Karena aku tahu, kamu enggak mampu melayani yang aku mau. Ini bukan soal hak dan kewajiban, Sayang. Ini soal keinginan untuk berbagi.”
                “Egois!”
                “Terserahlah. Aku capek berdebat berulang-ulang kayak gini.”
                “Mau kamu apa?”
                “Aku mau pulang, aku balik sama supirku aja. Aku males naik motor sama kamu. Panas! Bau! Pusing! Repot kalau banyak wartawan tahu kalau aku naik motor sama kamu!”
                Aku menghela napas, “Pulanglah, aku cuma enggak mau bikin kamu kehujanan dan kepanasan gara-gara naik motor sama aku.”
                Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, raut wajahnya seakan tak memercayai bahwa pernyataan sekejam itu bisa terlontar dari bibirku. Kekasihku melengos pergi, aku tak mampu lagi menahannya untuk tetap tinggal. Ia terlalu mandiri, terlalu kuat, dan terlalu mudah meninggikan dirinya. Aku yang kecil hanya bisa menerima, menetap dia dari jauh, tapi tetap mencintainya.
                Ketika punggungnya terlihat menghilang, aku berpikir dengan gelisah. Apakah wanita mandiri tak lagi membutuhkan sosok pria di sampingnya?

                Langit-langit rumahnya masih sama. Putih. Bersih. Kosong. Ia punya pembantu untuk mengantarkan minum untukku, tapi ia selalu berpendapat bahwa aku harus dilayani oleh kekasihku sendiri—dia.
                “Kamu naik motor?” percakapan awal yang tak begitu kuharapkan, pertanyaan seperti ini harusnya tak ditanyakan lagi.
                “Iya, kenapa?”
                “Di luar kan panas, kenapa enggak minta jemput sama supirku aja?”
                “Aku cuma ke rumahmu, bukan ke kawah Gunung Merapi.”
                “Jayus ah!” senyum kecil tergambar di sudut bibirnya, senyum yang akhirnya bisa kunikmati dengan bebas.
                “Akhirnya kita bisa ngobrol sedekat ini.” aku menggeser posisi dudukku lebih dekat dengannya, ia mengerti keinginanku; ia segera bersandar di dadaku.
                “Maaf untuk kejadian kemarin, mungkin aku terlalu lelah dan enggak bisa memahami keinginan kamu.” wanitaku berbicara dengan nada menyesal, aku bisa rasakan penyesalannya.
                “Aku yang salah, harusnya aku sadar dan paham, kamu enggak bisa makan sembarangan.”
                “Bukannya aku gak bisa makan sembarangan, aku lebih memikirkan pola makanmu.”
                “Iya, makasih.” tuturku tegas sambil mengenggam jemarinya, “Aku juga paham, kamu bukan wanita yang seperti dulu. Yang sederhana, yang mudah kuajak ke mana-mana. Kamu sibuk dengan pekerjaanmu.”
                “Ini mimpi aku, salah kalau aku mengejarnya? Salah kalau aku akhirnya berhasil dan bisa menghasilkan banyak materi?”
                “Bukan itu yang salah, kamu berbeda. Berbeda!”
                Ia menghela napas, meremas-remas tempurung kepalanya, “Aku enggak mau berdebat. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaanku, dengan jadwal syuting di banyak tempat. Kita cuma punya waktu sedikit untuk bersama, jangan rusak segalanya dengan egomu.”
                “Aku membicarakan kenyataan, kamu berubah. Kamu udah enggak mau kuajak makan dipinggir jalan, udah enggak mau aku bayarin. Sekarang, kamu yang mengatur segalanya.”
                Dia kembali menegakkan posisinya, tak lagi bersandar di dadaku. “Aku enggak berubah, kamu yang belum terbiasa dengan aku yang sekarang.”
                “Kalau kamu ingin aku jujur, aku lebih menginginkan kamu yang dulu.”
                “Segalanya udah berbeda, Sayang. Jarum jam tidak mungkin bisa diputar ke kiri.”
                “Apa kita enggak bisa kayak dulu lagi? Jalan-jalan bareng ke tempat yang ramai tapi tetap bisa ngobrol bareng kamu.”
                Kekasihku menggeleng mantap, “Banyak mata mengawasi aku.”
                “Aku belum siap dengan ketenaran kamu.”
                “Aku juga belum siap, tapi kalau aku beranggapan belum siap maka aku tak akan pernah siap.”
                “Apa dalam ketenaranmu, kamu masih membutuhkan aku?”
                “Aku masih sangat butuh sapaan selamat pagi darimu, juga ucapan selamat tidur dari kamu. Aku masih wanitamu yang dulu.”
                Senyumku mengembang, aku menarik dia dalam pelukku. Rapat sekali.
                Mungkin kekasihku benar, aku hanya belum siap pada perubahannya yang sekarag. Soal perasaan, wanita tak pernah salah.
                Semandiri apapun wanita, ia tetap membutuhkan sosok pria tangguh di sampingnya.

0 komentar:

Posting Komentar