Kamis, 27 September 2012

Cerpen "SEPUCUK SURAT MERAH MUDA"


Karya Dwi Hartini Nur


Kemunafikan dunia. Aku merasa telah masuk dalam perangkap kemunafikan dunia yang semakin merajalela dan menyerang kehidupanku, kehidupan yang begitu kelam dan kelabu. Setiap langkah kakiku yang gontai bagai menggambarkan kerapuhan jiwaku saat ini. Kehidupan yang aku fikir sangat menyenangkan dan menghibur ternyata berbalik menjadi kehidupan yang ricuh dan mengherankan bin mengejutkan. Hidup dengan kemunafikan dunia, hal terbodoh yang telah kurasakan saat ini. Hidup ini terlalu singkat untuk aku habiskan dengan pemberontakan kehidupan yang tidak pernah aku bayangkan. Setiap hari hanya menyaksikan kemarahan mama, ejekan adik dan kakak, semburan nasihat dari papa yang sekaligus memarahiku. Aku bosan hidup seperti ini. Dunia kehidupanku bagai tak berputar. Aku merasa seperti budak yang tidak pernah lepas dari penyiksaan.


Siksaan batin yang kualami tidak dapat lagi kuhitung dengan jemariku. Siksaan itu telah merajalela dan menyebar dalam hidupku. Sampai aku merasa aku telah berada dalam neraka jahiliah. Tempat yang menyeramkan nan menakutkan. Tempat di mana segala siksaan bertubi-tubi tanpa ampun dilakukan di tempat ini. Seharusnya rumah itu menjadi istana bagiku bukan menjadi neraka untukku. Aku merasa iri pada semua teman-temanku yang mempunyai kehidupan yang jauh lebih baik dari kehidupanku saat ini. Mereka selalu kelebihan kasih sayang dari kedua orang tua mereka. Sedang aku, kelebihan ocehan dan kemarahan dari mama. Setiap pagi, siang, sore, malam hingga pagi kembali datang, kupingku hanya mendengar teriakan dan jerit kemarahan dari mama.

Akupun mencoba keluar dari rumah dan duduk di bawah pohon yang rindang. Sambil merenungi nasibku yang kian malang, aku mulai berkhayal terbang di atas langit, bermain dengan gumpalan awan dan tertawa dengan udara. Aku merileksasikan diriku dari siksaan batin ini. Belum sampai hitungan jam, jeritan mama kembali menerkam kupingku. Mama kembali marah atas kesalahanku yang terbilang tidak begitu besar. Aku hanya lupa membersihkan kamarnya. Hanya itu, tapi kemarahan mama bagaikan halilintar yang menyambarku di siang bolong.

Akupun membereskan kamar tidur mama. Lalu, mengambil air wudhu dan bergegas sholat Ashar. Dalam kekhusyukan sholatku, aku berdo’a “Ya Tuhan, berikanlah hamba setitik kebahagiaan. Setitik saja. Hamba hanya ingin mendapatkan sedikit kebahagiaan dari banyaknya kebahagiaan yang engkau miliki, ya Allah. Hamba ingin Mama menyayangi hamba seperti beliau menyayangi saudara-saudara hamba yang lain. Hamba ingin memeluk surga di bawah telapak kakinya. Hamba hanya ingin kebahagiaan dan kasih sayang darinya. Ya Tuhan, tolong beritahu Mama bahwa aku sangat menyayanginya, Ya Tuhan” akupun bergegas melipat peralatan sholatku dengan rapi.

Hari ini, tepat tanggal 22 Desember. Hari kelahiranku, hari kebangkitanku dan hari kebebasanku menikmati dunia setelah 9 bulan lamanya terkurung dalam rahim Mama. Aku berharap hari ini ada senyuman di bibir Mama untukku. Aku merindukan senyuman Mama yang hampir telah pudar dari penglihatanku. Aku mulai keluar dari kamar dan duduk di ruang keluarga, tempat mama biasa menghabiskan waktunya. Tak lama kemudian, mama keluar dari kamarnya dan mama hanya melihatku sekilas, sekilas saja lalu pergi ke kamar kakak. Aku yang telah duduk di tempat itu seperti terkecoh, aku yang berharap penuh Mama mengucapkan kalimat “Happy Birthday, Baby” tiba-tiba lesu tak berdaya. Aku rapuh saat itu juga. Tak terasa tetesan air mata jatuh membasahi pipiku. Aku tak kuat menahan perihnya hatiku. Mamaku yang sangat aku sayang, melupakan hari ulang tahunku. Betapa sakitnya hatiku. Bagaikan tertusuk benalu. Akupun mengurung diri di kamar seharian. Dan aku menulis sepucuk surat untuk mama.

Bulukumba, 22 Desember 2011
Untuk Mama tercinta

Selamat hari Ibu, Ma
Kalimat ini aku jadikan salam untuk membuka suratku ini untuk mama karena hari ini adalah hari Ibu, sekaligus hari ulang tahunku, Ma. Mungkin hari ulang tahunku tidak begitu penting bagi Mama, aku sadar itu, Ma. Namun, biarkanlah aku mendengarkan ucapan “Happy Birthday” dari bibir Mama, kali ini saja. Aku merindukan senyuman lebar Mama yang semakin lama kian memudar dari penglihatanku. Aku merindukan Mama yang dulu. Ma, aku tahu aku bukanlah anak yang sempurna di mata Mama. Tapi biarkanlah aku juga menikmati sejuknya kasih sayang dari Mama. Biarkanlah aku bersujud di hadapanmu dan meminta maaf kepadamu, sekali saja. Lalu aku akan pergi jauh dari kehidupanmu, Ma. Aku janji itu. Aku hanya ingin mencium surgamu, telapak kakimu yang bersinar itu.
Ma, jika esok aku telah tiada, aku mohon, lantunkanlah sebuah do’a untukku agar perjalananku ke surga dapat di mudahkan oleh Tuhan. Hanya itu pintaku Ma. Dan aku akhiri suratku ini dengan ucapan “Happy Mother’s Day, Mom. I will always love you. Now and ever”

Salam, anakmu

“DITA”

Setelah suratku aku tulis di atas selembar kertas berwarna merah muda, seketika penyakit jantungku pun kambuh. Penyakit jantungku pun merenggut nyawaku. Dan, akupun meninggal dalam keadaan yang teramat sedih karena tidak dapat melihat senyuman dari mama untuk yang terakhir kalinya.

PROFIL PENULIS
Nama Lengkap : Dwi Hartini Nur
Nama Panggilan : Wiwi
Tempat, tanggal lahir : Bulukumba, 22 Desember 1996
Alamat : Jl. Matahari, Bulkumba, Sulawesi Selatan
Alamat Facebook : Ade'dwhieta ZiiCweneon Inginkandzhbat (WHydii)
Alamat twitter : @Why_whiek



0 komentar:

Posting Komentar