Tidak pernah ada
cinta di hati Tien. Hidup tidak memberinya cinta sedikitpun. Dia lahir juga
bukan karena cinta. Orang tuanya menjodohkan ibunya dengan pria yang tidak ia
cintai. Subhan nama pria itu. Dan akhir kisah rumah tangga itu sudah bisa
ditebak. Kedua orang tua Tien tidak pernah bisa memaksakan cinta lebih lama
lagi. Maka ibu Tien kawin lari dengan pria pilihannya dahulu sambil mengandung
Tien yang berusia tujuh bulan.
Tien di sini
sekarang. Kembali merenungi hidupnya yang pahit itu. Tentu saja Tien mengenal
cinta. Hanya saja dia belum juga merasakannya. Malang benar nasib Tien. Dia
sudah meninggalkan masa kanak-kanaknya sekarang. Usia remaja juga sudah
dijalaninya sejak tiga tahun yang lalu.
Ah, betapa Tien
membutuhkan cinta.
Tien selalu ingat
masa lalunya. Menurutnya setiap manusia itu minimal mendapatkan cinta dari
orang tuanya. Tapi Tien tidak pernah mendapat hak itu. Tien pernah mendengar
bahwa induk harimau sekalipun tidak pernah melukai anak-anaknya. Aku ingin
jadi anak harimau saja kalau begitu, pikirnya. Induk manusia lebih kejam. Tien
banyak membaca dari koran bekas yang dipungutnya. Membaca tentang aborsi,
pembuangan bayi dan penganiayaan anak oleh orang tua.
Tien tidak penah
mengalami kekejaman fisik itu. Tapi Tien tahu ibunya sangat membencinya. Sama
seperti kebencian ibu terhadap Subhan suami pertamanya, ayah Tien. Suatu ketika
ibunya pernah berkata kalau Tien selalu mengingatkannya pada suami terkutuk
itu. Ya Tuhan, bahkan ibu kandung Tien menganaktirikannya. Bagi Tien, ibunya
telah mengaborsi, membuang sekaligus menganiaya dalam takaran batinnya.
Maka Tien tidak
pernah menangis ketika ibunya mati.
Tien praktis tinggal
dengan ayah tirinya setelah itu. Apakah ayah tirinya memberinya cinta? Tien
tidak begitu memahaminya. Ayah tirinya baik, ramah tapi tidak ada cinta di
hatinya. Tien merasakan kekosongan yang aneh. Dengan usianya yang baru tujuh
tahun Tien tidak memahaminya. Sesekali ayahnya melepaskan pakaiannya dan Tien
berpikir: ya, ayah yang baik melepaskan pakaianku untuk dicuci. Sesekali
ayah Tien memandikannya dan Tien masih bepikir: ya, ayah yang perhatian
sudah wajar jika sesekali memandikanku. Sesekali ayah Tien meraba-raba
tubuh Tien dan Tien tetap berpikir: ya, ayah yang penolong membantuku
membersihkan dan menyabun daki-daki di badanku. Dan sesekali ayah Tien
memasukkan kemaluannya ke kemaluan Tien dan Tien semakin tidak memahaminya: entahlah
apa yang dilakukan ayah. Pertama menyakitkan tapi ayah selalu menghiburku. Dan
permen-permen itu sangatlah lezat. Ayah adalah penghibur yang baik.
Tien di sini
sekarang. Sudah memahami segalanya dengan baik. Ternyata ibunya memilih pria
bejat untuk dinikahi. Mungkin kakek neneknya telah mengetahui keburukan pria
pilihan ibunya ini. Maka dijodohkanlah ibu dengan pria baik-baik menurut
mereka.
Ah, kakek nenek,
dimanakah kalian tinggal? Ibu telah memisahkan kita. Memisahkan satu-satunya
kemungkinan adanya sumber cinta yang selama ini aku rindukan.
Ayahnya resmi memutus
sekolah Tien sesaat setelah lulus SD. Itu artinya sebelum Tien mendapatkan
penjelasan edukatif biologis tentang apa yang dilakukan oleh ayahnya, dia resmi
terputus dari pendidikan formalnya. Pengetahuannya akan datang terlambat dan
itulah tujuan sang ayah.
Tien mulai mengenal
teman-teman ayahnya yang sering datang ke rumahnya. Tien dengan pemahaman
seusianya kala itu menyebutnya: ‘teman-teman kantor’ ayah. Hanya saja Tien
tidak pernah paham bahwa ‘teman-teman kantor’ ayahnya itu melakukan persis apa
yang dilakukan ayahnya. Tien bukannya terganggu. Tien hanya tidak mengerti.
Tapi yang Tien tahu, ayahnya selalu memanjakannya setelah itu. Sepertinya
ayahnya selalu mendapatkan banyak uang setelah teman kantor ayah itu selesai
‘bermain’ dengannya.
Mungkin ayah telah
berdagang sesuatu dengan teman kantornya.
Tien selalu sesak
mengingat alur hidupnya yang tak seindah sinetron. Tapi Tien sudah tidak pernah
menangis. Tien lupa kapan teakhir menangis. Tangisan hanyalah untuk orang-orang
yang cintanya terenggut, pikirnya. Sedangkan Tien, tidak pernah memiliki cinta
sejak lahir. Jadi tidak ada sedikitpun yang terenggut darinya.
Tien yang kini telah
memahami segalanya, selalu terkurung dengan perasaan benci itu. Kepada ibunya
yang memisahkan dirinya dengan cinta yang ia butuhkan. Ibunya yang juga
melahirkannya dengan kebencian. Dan tentu saja ayah tirinya yang telah
mengantarkan nasibnya pada detik ini dan di tempat ini.
Pada suatu ketika itu
teman kantor ayah membicarakan sesuatu dengan ayah. Hasil dari pembicaraannya
itulah yang membuat Tien pergi dari rumah ayah. Tien harus ikut Om kata ayahnya
ketika itu.
Ayah menjanjikan aku
akan senang. Ayah berkata Om akan membelikan apapun yang aku mau. Tentu saja,
tentu saja aku mau pergi bersama Om ini. Tien tahu ayahnya berkata benar.
Buktinya ayahnya setelah itu memegang banyak duit dari si Om yang pastinya nanti
akan dipakai untuk membelikan Tien apa saja. Dan Om yang telah memberikan uang
sebanyak itu pada ayah pastilah kaya raya. Om itu pasti akan banyak membelikan
sesuatu juga.
Lambat laun Tien
mengerti juga. Perjalanan hidupnya akhirnya mendewasakannya juga. Tien mulai
tahu betapa kejamnya ayahnya yang menjualnya kepada teman kantornya. Dan si Om
yang sama kejamnya dengan ayah. Semua memperlakukannya sama seperti yang
dilakukan ayahnya dulu. Sama seperti yang dilakukan ‘teman kantor’ ayah dulu.
Sekarang ‘teman kantor’ Om melakukan hal yang sama dengan membayar sejumlah
uang kepada si Om. Semuanya sama. Bedanya, Tien sekarang sudah mengerti. Ketika
itu Tien tidak terganggu. Tien rela, pasrah. Tapi Tien merasa semakin kosong.
Kemanakah cinta untuknya?
Sekarang Tien sedang
berdiri di sini. Di sebuah jembatan sepanjang lima ratus meter yang baru
berusia satu tahun. Masih baru. Di sinilah titik yang paling menyenangkan untuk
Tien. Di sinilah Tien bisa menunggu matahari tebenam.
Jika aku tidak bisa
mendapatkan cinta dari sesama, biarlah aku mengais cinta dari pesona matahari
yang mulai meninggalkan langit tempatku berpijak ini. Matahari telah memberikan
cintanya pada alam. Sekarang sebelum dia pergi, aku ingin merasakan sedikit
dari hangatnya cinta yang masih tersisa itu.
Tien masih di sini.
Menatap jenuh. Kekosongan itu bisa juga jenuh ternyata. Mengenang
kekosongan dan kejenuhan yang sama ketika Tien memutuskan berlari dari
semuanya. Berlari secara lahir dan batin. Dini hari dua tahun yang lalu itu
Tien mencoba peruntungannya. Dan beruntunglah si Om yang tidak pernah menaruh
curiga pada Tien, yang dikenalnya sebagai ‘barang dagangannya’ yang paling
penurut, membuat pelarian Tien bukanlah perkara yang sulit. Dengan uang hasil
penjualan dirinya itu cukuplah untuk menghilang dengan jarak sejauh lima kota
dari ‘kantor’ Om. Tak ada yang bisa menemukannya di kota ini. Kota yang
memiliki jembatan baru yang indah. Cocok untuk Tien yang sedang merenung saat
ini.
Di sini Tien berdiri
menunggu matahari terbenam. Sama seperti senja-senja sebelumnya. Setelah penat
dengan pekerjaan seharian itu. bukanlah pekerjaan yang menyenangkan jika Tien
harus berkeliling kota dengan sepeda tua berkeranjangnya, hasil menabung selama
enam bulan, yang penuh dengan kertas bekas. Melelahkan memang tapi Tien sedikit
menikmatinya. Tien mulai berpikir, mungkin transaksi perasaan
cinta-mencintai itu memang tidak ada. Yang ada hanyalah transaksi jual beli
yang dinilai dengan uang. Uang yang membuatnya tetap hidup. Bukan cinta.
Tapi malam ini
nampaknya telah merubah pandangan Tien.
Malam yang sederhana.
Dengan situasi dan keadaan yang biasa. Di jembatan ini Tien telah hafal benar
dengan kebiasaan anak-anak muda seumurannya, yang berpasang-pasangan, ikut
meramaikan kedua sisi jembatan itu tiap senja mulai menggelap. Jembatan remang-remang
yang cocok untuk memadu kasih. Kendaraan yang lewat juga tidak banyak. Entah
mengapa lampu penerang jalan yang berjajar sepanjang jembatan yang
masing-masing berjarak seratus meteran itu tidak pernah menyala. Seolah para
ahli tata kota sengaja menjadikannya sebagai tempat cocok untuk berpacaran.
Atau mungkin para vandalis kota telah merusak sensor lampu agar tidak lagi
otomatis menyala ketika senja tiba.
Senja mulai
menghitam. Tien mulai melihat beberapa pasangan mulai berdatangan. Seperti
biasa, pikir Tien. Tien juga sudah bosan dengan gaya cakap-cakap para dua
sejoli itu. Yang satu pandai merayu, satu lagi pura-pura malu tapi mau. Tien
bosan dan dia selalu berhasil berkutat pada lamunannya. Tapi tidak malam itu.
Dia sayup-sayup mendengar sang pria berucap ‘selamat hari valentine’ pada
pasangannya. Hanya sekali Tien mendengar sudah cukup membuatnya keluar dari
lamunan dan memalingkan wajah. Menengok pasangan itu. Tidak, tidak hanya satu.
Beberapa pasangan lagi mengatakan kata yang sejenis sesaat berikutnya. Beberapa
lagi bersendau gurau dan menyinggung kata yang sama.Semuanya, pikir Tien.
Valentine. Tien tahu
kata itu. Tahu tentang perayaan dimana orang-orang meramaikannya dengan atribut
berwarna pink. Lihatlah, para pasangan di jembatan itu memakai pakaian dengan
unsur pink juga. Tien tahu betul peringatan hari kasih sayang itu.
Hari ini adalah hari
valentine. Seluruh dunia merayakannya. Kecuali aku…
Tien sesak. Hatinya
menangis. Kembali lagi dia mendambakan cinta. Kemanakah cinta untuk Tien? Tien
ingin cinta menerbangkan kebahagian seperti kebahagiaan yang terpancar pada
sejoli-sejoli di sekitarnya itu. Tien ingin terbang bersama orang-orang yang
dicintainya. Tien ingin terbang dilangit luas agar sesak di hatinya terlepas
melega.
Jembatan itu
remang-remang. Tak ada yang tahu bahwa Tien mencoba terbang. Meluncur kebawah.
Tien berharap cinta akan menerbangkannya pada detik-detik terakhir.
2
“Fenomena apa yang
terjadi pada anak muda akhir-akhir ini benar-benar harus diwaspadai. Psikologis
remaja yang baru berkembang bisa jadi adalah silent killer yang cukup
serius selain obat-obatan terlarang. Bagiamana tidak? Dalam tiga bulan terakhir
kita jumpai fenomena yang nampaknya menjadi tren. Apakah Shakespeare patut
dipersalahkan jika anak muda jaman sekarang lebih memilih bunuh diri hanya
karena tidak mampu menanggung beban percintaan? Meniru Romeo Juliet katanya.
Ataukah pemerintah yang harus bersikap hanya karena tidak pernah bisa
menyelesaikan urusan pelik yang bernama ekonomi?
Bagaimanapun juga
bunuh diri di kalangan remaja di Indonesia cenderung meningkat. Adapun jumlah
tertinggi pelaku bunuh diri berada pada kisaran usia remaja dan dewasa muda (15-24
tahun). Laki-laki melakukan bunuh diri (comite suicide) empat kali lebih banyak
daripada perempuan. Sedangkan perempuan melakukan percobaan bunuh diri (attempt
suicide) empat kali lebih banyak daripada laki-laki.
Laporan kejadian
bunuh diri tertinggi di Indonesia tercatat di Gunung Kidul Yogyakarta yaitu 9
kasus per 100.000 penduduk. Sedangkan di Jakarta hanya 1,2 per 100.000
penduduk.”
………………………………………………………
“Kau tidak lupa
memasukkan bahasan pada kasus terakhir dua hari yang lalu itu kan?” tanya seseorang
dari bagian percetakan kepada seorang kolumnis yang sedang asik mengetik.
“Mana bisa aku lupa?”
Kata si kolumnis sambil menghentikan kegiatannya sejenak. “Kamu tahu kan
kemarin aku bela-belain untuk ke TKP. Meliput secara langsung. Sungguh
menyedihkan kalau kamu melihatnya juga. Dan anak itu akan sedikit merubah data
statistik yang sudah aku hitung sebelumnya. Tenang saja, data terbaru itu sudah
siap aku cantumkan kok.”
“Mengharukan?”
dahinya mulai sedikit berkerut. “Mengerikan maksudmu?”
“Tentu saja mengerikan.
Korban terjun bebas mana yang matinya anggun? Tapi aku sedih, melihat wajah
mayat itu… Dia tersenyum.”
“Ah, sudahlah.
Bicaramu mulai mengerikan. Cepat selesaikan artikelmu itu. Jangan masukkan
bagian itu. Koran kita bukan koran mistik.”
Kolumnis itu nyengir
dan segera kembali berkutat pada laptopnya. Mengetik dengan cepat. Trending
news dengan kasus terakhir dua hari yang lalu itu membuat otaknya
kebanjiran ide yang harus ditulis dan diselesaikan segera. Ini kasus menarik.
Biarpun kasus terakhir hanya melibatkan seorang gadis gelandangan, tapi tetap
saja bunuh diri di malam valentine akan cukup menarik untuk dibahas. Entah apa
latar belakangnya, tak ada informasi satupun. Dia remaja gelandangan. Tak ada
seorangpun yang tahu kisahnya. Pengaruhnya dalam berita ini mungkin hanya
sekedar perubahan data statistik.
“Eh, buruan ya.
Setengah jam lagi deadline naik cetak.” Kata manajer percetakan, mengingatkan.
“Oke, aku hampir
selesai. Beberapa kata lagi dan artikel ini siap diterbitkan.” Kolumnis itu tampak
puas dengan idenya yang telah tertuang dalam 2 halaman yang terketik rapi itu.
Sebagai penutup artikel itu, dia menuliskan:
Yogyakarta, 16
Februari 2012,
Subhan
Sumber : www.anyamkata.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar